Release Me

Mengenai Saya

Foto saya
Duma-Dama, Papua, Jamaica
SALAH DAN BENAR TIDAK JADI UKURAN KARENA SMUA MASSA BELAJAR
Diberdayakan oleh Blogger.

Arsip Blog

Sejarah

 

Sejarah Papua Ala Drooglever

Kajian Drooglever sempat menggegerkan Indonesia, lima tahun silam. Ia mengungkap sejarah integrasi Papua

Hasil penelitian Prof. Pieter J. Drooglever tentang pelaksanaan Penentuan Pendapat Rakyat (Pepera) 1969 di Papua telah diterjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia dengan judul “Tindakan Pilihan Bebas, Orang Papua dan Penentuan Nasib Sendiri”. Judul aslinya “Daad van Vrije Keuze, de Papuans van Westelijk Nieuw Guinea, en de grenzen van het Zelfbeschichtings recht.”Saat pertama kali diluncurkan pada seminar Act of Free Choice di Den Haag, 15 November 2005, Drooglever menyimpulkan bahwa dalam pelaksanaan Pepera 1969 adalah suatu manipulasi sejarah Orang Papua.

Buku yang diterjemahkan oleh Dr. Johanes Riberu setebal 300 lebih halaman, ternyata laris manis di toko buku terbesar di Jakarta. “Saya heran buku ini bisa habis di pasaran, termasuk Jakarta,” ujar Dr. Benny Giay pada JUBI usai peluncuran buku “Memanusiakan Manusia” belum lama ini di Kotaraja, Jayapura.
Menurut Giay, buku ini sebenarnya berisikan banyak pengalaman Orang Papua saat pelaksanaan Pepera Tahun 1969. Baginya, kalau buku terjemahan Drooglever laris karena kebutuhan pengetahuan pembaca tak soal, tetapi sangat disayangkan jika ternyata diborong oleh institusi tertentu sambil tertawa lepas. “Tapi, yang jelas kitorang harus respon terhadap buku-buku yang memuat sejarah dari Orang  Papua,” kata Benny Giay mengingatkan generasi muda Papua untuk terus berkarya dalam meningkatkan kemampuan menulis.

Buku setebal 700 halaman dengan 14 bab merupakan hasil penelitian dari Prof. Drooglever pada Tahun 1999 atas perintah Menlu Jozias van Aartsen, yang diamanatkan pula oleh Parlemen Belanda. Penugasan kepada Profesor Sejarah itu tidak lepas dari suatu gerakan politik Belanda, terutama Partai Gereformeed Politiek Verbond atau Christen Unie. Bagi Dr. Karl Phill Erari, ada dua konteks yang mendorong Prof. Drooglever melakukan penelitian. Pertama, karena Kongres II Rakyat Papua, Mei 1999, mendesak perlunya pelurusan sejarah, karena Rakyat Papua merasa jalan sejarahnya menuju kemerdekaan sebagai suatu bangsa telah dibelokkan oleh kepentingan politik Jakarta.

Bahkan (Alm) Theys Hiyo Eluay berkali-kali dalam pernyataan politiknya selalu mengumandangkan perlunya meluruskan sejarah Orang Papua yang telah dibengkokkan dan perlu dilakukan peninjauan kembali.
Kedua, tampilnya Gus Dur sebagai Pemimpin Indonesia yang lebih demokratis.

Drooglever menyebut Sekjen PBB waktu itu, U Thant, dalam laporan akhirnya kepada Majelis Umum PBB, tak punya pilihan lain kecuali menyimpulkan Pepera 1969 adalah suatu penentuan pendapat rakyat. Dijelaskan, sebetulnya dalam Perjanjian New York 15 Agustus 1962 diputuskan suatu proses plebisit, tapi belakangan diubah menjadi the act of free choice, yakni hak untuk menentukan nasib Papua. Masalahnya ialah Ortiz Sans, yang ditugaskan PBB sebagai pengawas Pepera, meragukan the act of free choice  itu dapat dilakukan oleh penguasa Indonesia. Artinya, apakah benar-benar sesuai dengan azas yang diakui dunia internasional. Ortiz Sans menyatakan proses itu bukan suatu act of free choice. Jadi dia mengambil jarak terhadap apa yang terjadi di Papua dan sikap itu juga diambil oleh Sekjen PBB, U Thant. Ini berarti ada keberatan yang serius dari masyarakat internasional.

Drooglever menyusun bukunya berdasarkan penelitian di Belanda, PBB, arsip nasional Amerika Serikat, narasumber, para saksi sejarah dari Papua, Belanda dan saksi sejarah lainnya. Ia menggunakan bahan-bahan dokumentasi yang sebelumnya hampir tak pernah dipakai. Bab pertama dari buku ini lebih banyak tentang sejarah kontak Orang Papua sampai dengan masa Perang Dunia II. Pokok penting dalam bab ini adalah bagian Barat New Guinea secara perlahan dan pasti masuk ke dalam lingkaran pengaruh kekuasaan pusat kolonial Belanda di Batavia.

Kepentingan Batavia, yang merupakan ibukota pemerintahan Hindia Belanda bukanlah soal komersial dan keuntungan ekonomi. Sebab pada waktu itu tanah Orang New Guinea dianggap tidak memiliki potensi ekonomi dan kurang menarik bagi sektor komersial. Namun yang menjadi alasan utama keterlibatan Belanda terhadap New Guinea adalah lebih bersifat politik/strategis untuk memantapkan batas Timur pengaruhnya di Asia. Sedangkan dalam bab dua, New Guinea, dalam banyak hal memiliki sejarah penjajahan yang berbeda dengan wilayah-wilayah lain di Indonesia. Hanya sebagian wilayah New Guinea saja yang dijajah Jepang. Pengaruh Belanda terus berlangsung di daerah Selatan Papua dan wilayah Pedalaman. Pendudukan Jepang hanya berlangsung singkat dan pulau-pulau ini sudah dibebaskan tentara pendudukan Sekutu Amerika Serikat pada pertengahan 1944.

Bab tiga membahas agak terperinci soal kebijakan yang telah diambil Pemerintah Belanda mengenai peristiwa-peristiwa sejarah ini dan ada hubungannya dengan New Guinea. Diuraikan pula konsep hak penentuan nasib sendiri yang merupakan kunci kebijakan Belanda Hak penentuan nasib sendiri dikembangkan pada awal Perang Dunia II, khususnya Amerika Serikat, sebagai salah satu tujuan perang.
Lebih aneh lagi anggapan bahwa Orang Papua belum dapat menentukan nasib mereka sendiri langsung menciptakan masalah, karena alasan itu tidak ditetapkan melalui cara-cara yang demokratis. Pemerintah dan Parlemen Belanda berupaya untuk meluruskan masalah ini dengan cara memasukannya langsung ke dalam persetujuan, tetapi ditolak mentah-mentah oleh pemerintah Indonesia. Karena itu kedua belah pihak membutuhkan Perjanjian Linggardjati, 25 Maret 1947, walaupun sebenarnya belum ada kata sepakat soal tanah Orang New Guinea Barat. Bab empat membeberkan tentang pentingnya penentuan nasib sendiri dan sejumlah alasan lainnya. Masing-masing alasan itu secara terpisah dan tidak kuat, sehingga bisa menimbulkan resiko tidak tercapainya persetujuan Belanda dengan Indonesia. Lepas dari kelebihan maupun kekurangan, dengan hasil penelitian ini telah membuktikan Pemerintah Belanda serius menelaah kekeliruan yang telah diambil selama memegang kendali wilayah New Guinea.

Profesor Drooglever dari Institut Kesejarahan Belanda (Instituut voor Nederlands Geschiedenis) yang bermarkas di Den Haag, dalam penelitiannya menegaskan bahwa warga Papua tidak mendapatkan proses adil untuk memilih merdeka dalam referendum tersebut. Referendum Tahun 1969 oleh Drooglever disebut sebagai sebuah manipulasi besar yang menjadikan Papua sebagai bagian dari wilayah Indonesia.
Pada awal 1960-an, Belanda dan Indonesia sepakat bahwa Warga Papua akan mendapat kesempatan untuk menentukan pilihan tentang penyatuan dengan Indonesia.

Selanjutnya, Drooglever menyimpulkan bahwa ketika itu, Soeharto hanya mau bekerja sama jika hasil referendum menguntungkan Jakarta. Satu kelompok wakil Warga Papua terpilih, berjumlah sekitar 1.000 orang yang kemudian dikenal dengan nama Dewan Musyawarah Pepera (DMP).
Dolf Faidiban, mantan pejabat dan Sekda Biak Numfor dalam buku berjudul “Bakti Pamong Praja Papua” menyebutkan , dalam kondisi politik yang tak menentu di Papua jelang Pepera 1969 muncul Orang Papua yang menamakan diri pejuang Papua Indonesia Raya. Mereka dicatat dan dianggap sebagai pejuang, kemudian dipilih Indonesia untuk duduk dalam DMP, 1969. Mewakili Orang Papua dalam DMP, kata Dolf, bukanlah orang-orang baik, mungkin ada satu dua yang baik, tetapi sebagian besar dari mereka yang ditunjuk itu tadinya menjadi informan.

Peranan militer di Papua juga semakin kuat saat memasuki pelaksanaan Pepera 1969.Pangdam XVII Cenderawasih (Alm) Brigjend TNI Sarwo Edi Wibowo, mertua Presiden SBY, dikenal sangat tegas dalam pelaksanaan Pepera 1969. Dolf Faidiban juga mengutip ‘surat rahasia’ Komandan Resort Militer 17 Merauke, Kol. Blego Sumarto. Nomor surat R-24/1969 perihal Pengamanan Pepera, Tanggal 8 Mei 1969, yang ditujukan kepada Bupati Merauke selaku Anggota Muspida. Kesimpulan dari surat ini, menurut Dolf, Pepera secara mutlak harus dimenangkan, baik secara wajar ataupun tidak wajar.

Penelitian Prof. Dr. Drooglever merupakan  karya ilmiah yang dapat dipertanggungjawabkan. Jika dianggap tidak benar harus pula dikoreksi dengan cara-cara ilmiah dan bukan menutup sebuah kesalahan sejarah masa lalu Orang Papua.

 

 


PERJALANAN AUKI TEKEGE (MEE)


Auki Tekege, Pembawa Terang Bagi Masyarakat Koteka

Auki sebagai salah satu tokoh diantara sekian banyak tokoh yang telah membuka pagar Allah yang dibuat secara bertahap di tanah Papua dengan dorongan roh kudus. Tokoh-tokoh yang tercatat dalam sejarah pembukaan pagar Allah di tanah Papua ialah Ottouw dan Geisller di Mansinam Manokwari (Papua Utara) pada tahun 1855, Ardmanville d’cock di Kokonao (Papua Selatan) pada tahun 1902, Auki Tekege (1932-1934) dan dan lain-lain sebagainya.
Pada zaman simbiotik, banyak orang dari timur mengembara ke bagian barat pegunungan pusat. Salah satu marga yang pindah dari sekitar danau Tage ke Mapia adalah marga Tekege. Adalah Obasso Tekege, adik bungsu dari tiga bersaudara melarikan diri dari Tage (dimiya) ke Mapia karena bagian daging burung yang diinginkannya tidak diberikan oleh kedua kakaknya sehingga Obasso mengembara ke Tigi, pindah lagi ke Idadagi masuk daerah Mapia, menetap di Maymapa dan tidak lama kemudian pindah ke Modio. Keturunan Obasso sebagai berikut; Dodota, Menani, Wateisa, Mootoo, Memaha, Beneika, Siwaika, Bidahai dan Bedoubainawi (dikenal Auki).
Disebut Bedoubainawi karena semasa muda, Bedoubainawi mempunyai hoby berburu burung (Bedo = burung, ubai = cari, nawi = jalan). Sehingga ia sudah mengoleksi berbagai jenis burung. Sebagian besar dari burung yang dikoleksi adalah burung Cenderawasih. Bedoubainawi rupanya mempunyai maksud tertentu dibalik kegiatan koleksi burung Cenderawasih. Ia sering kali berjanji kepada masyarakatnya bahwa pada suatu saat ia akan menghadirkan Ogai-pii (dunia modern). Menginjak usia dewasa, Bedoubainawi mulai berburu keluar daerah Modio. Daerah yang sering dilalui adalah daerah Isago-doko (diantara Mapia dengan Kokonao). Di Isago ia berkenalan dengan seorang pemuda bernama Ikoko Nokuwo. Sering mereka berdua berjualan hasil bumi kepada orang-orang Kamoro (pantai selatan), dan diganti dengan kulit bia (mege = alat pembayaran), sambil latihan bahasa Kamoro. Kepala suku Kamoro dengan kepala perangnya sangat dikenal baik. Hari demi hari mereka dua mulai belajar bahasa Kamoro dan akhirnya menjadi fasih.
Bedoubainawi sudah lupa lagi dengan kampung kelahirannya di Modio. Namun pada suatu saat ia kembali ke kampung Modio tanpa membawah sesuatu apapun. Kedatangannya tidak disenangi masyarakat Modio yang ditinggalkan bertahun-tahun. Orang-orang Modio bertanya kepada Bedoubainawi “dimana ogaipii yang dari dulu kamu janji?“. Akhirnya masyarakat Modio memanggil TAPEHAUGI yang artinya orang yang tidak beruntung. Pada waktu itu hampir seluruh daerah Mapia terjadi perang. Perang itu terjadi antar klan/marga dan kampung akibat pencurian, perzinahan yang berbuntut pada pembunuhan yang sifatnya melanggar hukum Tota Mana. Sistem sangsi hukum pun tidak berlaku, hanya nyawa ganti nyawa. Dengan kata lain kebenaran-kebenaran itu semakin hilang.
Tapehaugi hampir setiap hari berpikir, bagaimana caranya sehingga masyarakat bisa hidup aman, damai dan rukun berdasarkan ajaran-ajaran Kabo mana dan Tota mana. Pada suatu hari Tapehaugi memutuskan pergi mengunjungi rekannya Ikoko Nokuwo di daerah Isago. Awal tahun 1930 Tapehaugi bersama istrinya Kesaimaga Gobay mulai berjalan menuju pantai selatan. Selama satu minggu mereka berjalan dari Modio bermalam di Mokobike, Boubaga, Dikitinai hingga di kampung Bidau. Dikampung Bidau ia bertemu Ikoko Nokuwo dan masyarakatnya bermarga Gabou-Kahame. Dari Bidau mereka menuju Wagikunu. Esoknya mereka menuju kampung Dowudi dan malam ketujuh mereka sampai di kampung Makaihawido. Di kampung itu Tapehaugi menetap lama dan membuat rumah.
Tak lama kemudian mereka pergi menjual hasil buminya ke Ugoubado (Pronggo) untuk ditukarkan dengan hasil bumi dari pantai. Sampai di Ugoubado mereka masuk dirumah kepala suku Kamoro. Pada malam hari Kepala Suku Kamoro menceritakan tentang orang-orang barat yang sedang mewartakan Injil di daerah Kokonao. Tapehaugi sangat tertarik dan ingin berjumpa dengan para misionaris tersebut. Namun Kepala Suku Kamoro itu tidak menceritakan dimana keberadaan para misionaris itu. Tapehaugi mengetahui maksud hati Kepala Suku dan berjanji setelah tiga bulan Tapehaugi dan rombongannya akan membawah hasil buruan dan makanan. Janji Tapehaugi diterima baik oleh Kepala Suku Kamoro.
Tiga bulan kemudian Tapehaugi bersama rombongannya membawah 40 ekor burung Cenderawasih (tune mepiha) yang sudah dikeringkan sebelumnya, ditambah makanan dan tembakau. Orang Kamoro pun sudah mempersiapkan kulit bia, 40 buah kampak batu (maumi) dan hasil laut lain sesuai perjanjian. Setelah pertukaran barang selesai, Kepala Suku Kamoro berjanji akan membawah para misionaris untuk berkenalan dengan Maihora (panggilan orang Kamoro kepada Tapehaugi). Dengan hati yang senang dan gembira Tapehaugi bersama rombongannya kembali ke Wagikunu.
Pada suatu hari sementara Tapehaugi sedang membuat kebun, tiba-tiba istrinya Kesaimaga memanggil: “Ke-ke..tobouga-gogo wake, akogeima kedeke kamena keino owegaimi”. Artinya ‘’hai orang Tobousa, jangan melamun, sahabat-sahabatmu sedang datang, mari jemput mereka”. Tapehaugi pun bergegas menjemput mereka. Sesampai dirumah ia berpapasan dengan orang-orang berkulit putih persis seperti anak yang baru lahir (detamagawa). Kepala suku Kamoro berkata kepada Auki: “Maihoga, inilah orang-orang yang mewartakan kabar gembira”. Maka mereka saling berkenalan satu sama lain. Orang-orang berkulit putih itu antara lain Pater Tillemans MSC dan dr Bijmler. Pada kesempatan itu tepat bulan April 1932. Tapehaugi menceritakan, “dibelakang gunung sana, orang seperti saya banyak, saya minta supaya kabar Injil diwartakan kepada rakyat saya yang berada dibalik gunung sana”, ungkap Tapehaugi berharap. Pater Tillemans berjanji setelah tiga tahun dirinya akan datang menuju Modio – Mapia. Selanjutnya Tapehaugi bersama istrinya kembali ke Modio.
Dalam perjalanan pulang, Tapehaugi mendapat nama baru dari seorang Malaikat di kampung / gunung Mokobike (Mouhago). Nama yang diberikan adalah AUKI – artinya laki-laki yang hebat dalam nada keheranan. Sesampainya di Modio, Auki menceritakan perjalanannya ke Kokonao termasuk nama yang baru diberikan itu. Orang-orang yang turut mendengar cerita Auki antara lain Minesaitawi Tatago, Metegaibi Kedeikoto, Dakeugi Makai dan teman sedawar lain yang masih hidup pada masa itu.
Pada tanggal 21 Desember 1935, P. Tillemans yang mengikuti Bijmler Ekspedisi menuju Modio. Setelah lima hari perjalanan, pada tanggal 26 Desember 1935 rombongan P. Tillemans dan Tuan Bijmler tiba di Modio. Pada waktu itu Ikoko Nokuwo memakai topi yang dibuat dengan rotan. Mereka disambut dengan Tupi Wani (Kapauku Folkdance) dan dipotong dua ekor babi sebagai pengucapan syukur atas kehadiran dua orang barat tersebut.
Selanjutnya Auki memerintahkan kepada Minesaitawi Tatago dan Dakeugi Makai untuk memanggil seluruh pimpinan masyarakat (Tonawi) yang ada diseluruh pedalaman Paniai. Sepuluh hari kemudian, para Tonawi tersebut tiba dengan rombongannya dengan membawa babi untuk pesta perdamaian [tapa dei]. Mereka yang turut hadir pada waktu itu antara lain Zoalkiki Zonggonao dan Kigimozakigi Zonggonau dari Migani, Gobay Pouga Gobay dari Paniai, Itani Mote dan Timada Badi dari Tigi, Papa Goo dari Kamu, Tomaigai Degei dari Degeuwo, Pisasainawi Magai dari Piyakebo, Dekeigai Degei dari Putapa, Enagobi Gobai dari Pogiano, Tubasawi Tebay dari Toubay, Mote Pouga Mote dari Adauwo dan Dakeugi Makai dari Pisaise, dll.
Pada tanggal 7 Januari 1936, Pater Tillemans memimpin Misa Kudus dan membuka Injil diatas batu didepan rumah Bapak Auki. Itulah misa pemberkatan pertama di kampung Modio. Setelah misa kudus, dilanjutkan dengan doa perdamaian (tapa dei) yang dipimpin oleh Auki. Dalam doa inti Auki meminta Minesaitawi dan Dakeugi untuk membunuh dua ekor babi yang telah dipersiapkan (Sabakina dan Bunakina). Ketika membunuh bunakina (babi hitam) Minesaitawi berkata: Aki mogaitaitage Mee (bagi yang akan berbuat zinah), aki oma nai tage Mee (bagi yang akan mencuri), aki pogo goutage Mee (bagi yang akan membunuh), aki Mee ewegaitage Mee (bagi yang akan menceritakan orang lain), aki pusa mana bokouto Mee (bagi yang akan menipu) kou ekinama dani kategaine. Artinya:saya samakan kamu yang akan melanggar ajaran Tota Mana dengan babi yang saya bunuh agar tidak terulang lagi.” Selanjutnya Dakehaugi membunuh babi putih yang sudah diikat di Pohon Otika. Setelah itu Dakehaugi memotong pohon Otika dan mengeluarkan darah merah pertanda persembahan diterima.
Setelah upacara perdamaian selesai, rombongan Pater Tillemans kembali ke Kokenau dan melaporkan perjalanan kepada Pimpinan Gereja di Langgur (Ambon) dan Pemerintah Hinda Belanda bahwa dipedalaman Paniai ada manusia. Laporan itu diketahui Assisten Residen Fakfak dan Bestuur Assisten di Kaimana dan meminta Pilot Letnan Dua Laut Ir. F. Jan Wissel untuk menelusuri daerah Pegunungan. Pada awal bulan Februari 1937 Pilot Wissel terbang dari Utara (Serui = Geelvink) ke arah Selatan (Babo) menggunakan pesawat Sikorsky milik perusahaan Nederlands Nieuw Guinea Petroleum Maatschapij (NNGPM) dan menemukan tiga buah danau dan perkampungan disekitar danau itu. Sejak saat itu danau Paniai, danau Tage dan danau Tigi dikenal Wisselmerren (bahasa Belanda artinya danau-danau Wisel). Selanjutnya pada bulan April 1938 P. H. Tillemans MSC ikut Ekspedisi Van Eachoud menuju Enarotali untuk membuka pos-pos pelayanan sekaligus menemui Tonawi-Tonawi yang sudah dikenal jauh sebelumnya di Modio, 1936.
Berita adanya manusia di Pedalaman Paniai didengar pula oleh Pendeta R. A. JAFFAR. Akhir tahun 1937 Pdt. R. A. Jaffar mengajukan permohonan dan meminta ijin kepada Pemerintah Hindia Belanda untuk membuka penginjilan di daerah pedalaman Paniai dan permohon tersebut dikabulkan. Dari Makasar beliau berangkat menuju Bumi Cenderawasih untuk melihat secara langsung keadaan penduduk disana. Selanjutnya Pdt. R. A. Jaffar mengutus Pdt. Walter Post dan Pdt. Russel Dabler untuk merintis daerah pedalaman Paniai. Sesampai di Uta mereka berdua dijemput Yineyaikawi Edowai dan menuju daerah Paniai melalui sungai Yawei. Begitu tiba mereka bermalam di rumah Itani Mote di Yaba (Waghete).
Tahun-tahun berikutnya berturut-turut didatangkan penginjil-penginjil muda seperti Sam Pattipeiloi dari Ambon, Poltak Saragih asal Tapanuli dan Paja asal Kalimantan Timur bersama 20 orang dari Kalimantan Timur meninggalkan Makasar pada 5 Maret 1939. Mereka tiba di bumi Cenderawasih pada 20 April 1939. Berikut tahun 1941 datang pula beberapa lulusan SAM pada route yang sama yaitu Ch. D. Paksoal, P. Pattipeiloi, C. Akhiary (Ambon Sanger Talaut), Ajang Lajang, Salim dan Teringan asal Kalimantan Timur. Dari kalangan gereja Katolik datang pula beberapa guru-guru muda seperti Andreas Matorbongs ditempatkan di Enarotali, gr Meteray di Kugapa dan Petrus Letsoin di Yaba.
Segera sesudah itu perang dunia kedua meletus dan seluruh pelayanan misi dan zending diberhentikan. Beberapa misionaris dan pemerintah Belanda diinternir oleh tentara Jepang. Salah satu surat yang dilayangkan berbunyi: “Als de kontreleurs en de Pastoors zich niet aan de Japanners overgeven, hebben nedaar voor reeds twee grote kapmessen gereedliggen, een voor de pastoor en een voor mij”. Artinya jika pemerintah dari Belanda dan Pater tidak menyerahkan diri kepada pemerintah Jepang, mereka akan dipenggal kepalanya. Orang-orang Jepang telah menyediakan dua buah pisau besar, satu untuk penggal kepala para pastor, dan satu untuk saya (de Bruijn).
Mendengar informasi ini, para misionaris dan Pemeritah Belanda segera disembunyikan oleh orang-orang pedalaman di beberapa tempat seperti Komandoga, Siriwo dan Pegaitakamai. Orang-orang yang disembunyikan di Pegaitakamai antara lain Pater Tillemans, dr Rubiono dan DR. J.V. de Bruijn. Di gunung ini dokter Rubiono yang mengikuti kedua orang barat itu menemukan seorang bayi kecil (tuan tanah) dan disembunyikan dalam tas. Menurut orang Mapia hingga saat ini, dokter Rubiono adalah Ir Soekarno, Presiden Republik Indonesia pertama. Walaupun dalam dokumen-dokumen sejarah Suku Me dan daerah sekitarnya tidak pernah disebut nama Soekarno, kecuali nama dr Rubiono dan Adang Rusdy, seorang operator Radio Belanda – dan juga Ir Soekarno sebelum tahun 1945 belum pernah injak daerah pedalaman Irian.
Tak lama kemudian pada bulan Agustus dan September 1942 tentara Jepang masuk ke daerah Paniai melalui Uta ke Oraya terus ke Enarotali. Cengkeraman kekuasaan Jepang di Paniai menyebabkan HPB de Bruijn terpaksa mengungsi ke Australia. Dalam pengungsian ini, ikut serta 26 pemuda Ekagi dan Migani. Mereka adalah Markus Yeimo, Piter Kadepa, Bernadus Gobay, Petrus Gobay, Kornelis Madai, Obeth Takimai, Erenius Mote, Yoakim Mote, Dominggus Mote, Bernadus Mote, Markus Goo, Kosmos Ekee dan Animalo Adi. Dari Merauke ada beberapa yang masuk polisi seperti Manatadi Gobay, Kaimodi Yogi, Bintang Gobay, Paulus Madai dan Yoseph Yeimo. Sedangkan yang lain masuk Batalyon Papua yang dibentuk tentara Sekutu untuk memerangi sisa-sisa tentara Jepang. Sementara itu, de Bruijn membawah tiga pemuda Ekagi ke Australia, masing-masing Karel Gobay, Zakeus Pakage dan Ikoko Nokuwo. Sementara itu Pater H. Tillemans dan dr. Rubiono bersama beberapa guru lainnya, berangkat dari Mapia menuju Enarotali untuk menunggu pesawat menuju Merauke. Di Enarotali P Tillemans dan rombongannya disembunyikan di gunung Bobaigo. Di gunung ini, dr Rubiono menangkap burung Garuda (Imu = penjaga gunung, menurut orang Mee).

Pada tanggal 24 Mei 1943 P Tillemans MSC dan rombongannya berangkat dengan pesawat terbang dari Enarotali ke Merauke. Dua hari setelah keberangkatan mereka, daerah Paniai dan sekitarnya diduduki oleh tentara Dai Nippon. Usai perang dunia kedua, misionaris dan zending kembali ke daerah Paniai dengan membawah tenaga-tenaga guru, suster, Pater untuk membangun daerah yang telah “dipagari Allah”. Dari Misi seperti Gerardus Ohoiwutun dan Bartholomeus Welerebun di Enarotali.

1 komentar:

Pengikut